infokeris.com
 
Pada umumya terutama di jawa pembuat keris dikenal dengan sebutan Empu, di bali dikenal dengan nama pande atau wangsa pandie,di Sunda dikenal dengan istilah Guru Teupa. David van Duuren dalam bukunya The Kris “Empu merupakan orang-orang yang dianggap suci dan memiliki kedudukan tinggi dimasyarakat”(1998). Mas Ngabehi Wirasoekadga dalam bukunya Misteri Keris menuliskan Empu adalah mahluk/manusia yang memiliki derajat tinggi.

Ajaran pandie/empu awal mulanya berasal dari sekte Brahma, ialah sekte yang menempati urutan sangat penting diantara sekte-sekte lainya, pengikutnya bergelar brahmana pandie, pada zaman itu dikenal dengan wangsa brahmana pandie. Lebih jelasnya lagi di jawa setelah agama hindu jatuh ke tangan agama islam,istilah brahmana tidak tampak lagi,tetapi wangsanya masih ada yang sekarang lazim disebut pandie besi,pandie mas dll.

Di Bali wangsa pandie diikat oleh kewajiban moril dan prasasti-prasasti wisama leluhur yang secara rohaniah berhubungan sangat erat antara keluarga satu dengan yang lainya dengan istilah wangsa, prasasti yang mengikat mereka yang paling terkenal disebut prasasti “Pustaka Bang Tawang”, mereka memiliki kesepakatan mengangkat empu Baradah sebagai gurunya. Di Bali ilmu kepandean tidak sembarangan orang bisa mempelajarinya karena hanya mereka yang keturunan wangsa pande yang boleh mempelajari, sedangkan di luar bali  pandie hanya merupakan profesi saja dan siapapun boleh mempelajarinya dan mereka tidak diikat dalam satu sistem keluarga tertentu.

Empu merupakan seorang yang benar-benar ahli dibidangnya dan memiliki beberapa keahlian yang menunjang proses kreatif dalam penciptaan karya-karyanya, adapun beberapa keahlian khusus yang dimiliki oleh seorang Empu untuk merujuk pada proses kreatifnya adalah :

1.Ahli dalam bidang agama dan Spiritual
Pada masanya seorang Empu adalah orang yang dianggap suci dan memahami betul akan pemahaman kehidupan dan mampu memahami sesuatu yang gaib, seorang empu biasa memimpin upacara-upacara keagamaan ataupun upacara-upacara sesaji lainya. Empu merupakan panutan bagi masyarakat sekitarnya.

2.Ahli dalam bidang olah senjata
Ada ungkapan senjata yang baik adalah senjata yang dibuat oleh pendekar (ahli olah senjata) yang hebat, Jadi kebanyakan para empu adalah seorang yang ahli “olah kanuragan” dalam memainkan senjata/pesilat/pendekar yang mahir. Dalam babad Bali diterangkan ketika patih Gajah Mada ingin menaklukan Bali, mahapatih Gajah Mada merangkul para empu/pande dan menempatkan di garis depan, Sang patih sangat yakin akan keberanian dan kehebatan olah senjata para empu keris/pande.

3.Ahli dalam bidang Psikologis
Seorang empu memiliki kemampuan memahami karakter psikologis dari pemesanya sehingga keris yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan watak,prilaku dan karakter dari pemakainya, diceritakan dalam babad dan juga cerita-cerita rakyat bahwa para kesatria memesan keris pada seorang empu agar sesuai dengan dirinya.

Keris merupakan sebuah karya yang mampu berperan sebagai “Obyek ataupun Subyek” dari pemakainya, Keris dapat diperlalukan sebagaimana keinginan dari si pemilik seperti dipakai untuk senjata, kelengkapan busana, benda pamer dll tetapi keris juga mempengaruhi sifat dan karakter pemiliknya sebagaimana keyakinan dari pemilik terhadap kekuatan dan atau bahasa simbol dari kerisnya.

4.Ahli Anatomi
Keahlianya didalam olah senjata dengan sendirinya seorang empu ahli dalam anatomi manusia. Keahlian ini sebagai penunjang agar karya yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan “dedeg Piadek” atau ukuran badan si pemakainya, dengan demikian karya yang dihasilkan dapat diperankan sesui dengan pemakainya. Perlu diingat kembali bahwa semua hal yang berkaitan dengan ukuran tiap-tiap bagian keris menggunakan ukuran bagian badan seperti: “nyari,kilan,cengkang dl”l.

5.Ahli dalam bidang politik
Pada masa majapahit oleh Gajah Mada empu diberi kedudukan tertentu dalam pemerintahan. Seorang empu banyak terlibat dalam percaturan politik dan terlibat didalam strategi kenegaraan dan perang.

Penghargaan khusus dari raja banyak diberikan kepada para empu keris yang mumpuni, mereka diberi kedudukan tinggi, lengkap dengan nama dan gelar kebangsawanan seperti Empu Supo yang disayang oleh raja karena berjasa mengembalikan Keris Sangkelat yang telah hilang dari keraton kemudian diangkat jadi menantu dan diberi gelar pangeran dengan hadiah tanah perdikan atau tanah bebas pajak.

6.Ahli dalam bidang Sastra
Seorang empu biasanya mempelajari sastra dan mereka adalah orang-orang yang terpelajar, sebagian besar dari mereka terjalin hubungan baik dengan keraton sehingga mereka memperdalam sastra untuk interaksi mereka, disamping itu mereka menganggap ajaran sastra merupakan salah satu untuk menambah pengetahuan dan kedalaman batin. Dalam ajaran “Aji Panca Bayu” yang di pelajari oleh para pandie di Bali, merupakan bagian ajaran Panca Brahma Pancak Sara yang berakar dari Aji Dasak Sara Pamurtining Aksara Anacaraka asal muasal Aji Saka, menerangkan: Aji Ngaran Sastra, Saka ngaran tiang ngaran pokok yang secara umum mengandung pengertian sumber dari ajaran Sastra Kesusastraan, dalam ajaran tersebut ada ungkapan;Sastra ngaran tastas ngaran terang Astra ngaran api ngaran sinar”

               Yang secara umum mengandung pengertian, dengan mengenal api orang akan mengenal terang, sebaliknya orang yang tidak mengenal sastra sama dengan buta huruf berarti hidup dalam kegelapan.

7.Ahli dalam bidang Artistik

               Bentuk dasar dari bilah keris terdiri dari bilah keris lurus, bilah keris luk dan bilah keris campuran antara luk dan lurus. Jumlah nama dari dapur bilah keris banyak sekali, Pujangga besar Ronggowarsito menyebut tak kurang dari 560 dapur keris. Rafles dalam bukunya “Histori Of Java” (1817) melukiskan 41 dapur keris utama yang ada pada abad ke-19.Buku tinggalan PB IX tentang dhapur keris (1792 Saka) menyebut 218 nama dapur keris.

Bila kita perbandingkan dengan senjata-senjata tradisional di seluruh dunia seperti tombak, pedang, panah,pisau dll, keris merupakan senjata tradisional yang paling banyak ragam farian bentuknya di samping juga yang paling rumit dari tiap-tiap bagiannya ( rerincikan bagian bilah keris lebih dari 30 bagian, pedang Katana dari Jepang sekitar 15 bagian, pedang Toledo dari Spanyol 10 bagian, Kukri dari Nepal 9 bagian)

Sumber: http://kerisologi.multiply.com/journal/
 
Keris sebagai artefak budaya merupakan hasil dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat. Hasil kebudayaan berkaitan dengan sistem simbol, yaitu merupakan acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem simbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik3. Pengertian kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya (dalam hal ini adalah masyarakat Jawa).

Keris sebagai hasil budaya merupakan karya manusia yang akrab dengan masyarakatnya. Bahkan keris mampu memberikan nilai dan citra simbolik yang diyakini oleh masyarakat sebagai satu bentuk kebudayaan yang adiluhung (klasik). Kini menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan karena dianggap mempunyai nilai dan simbol dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Berkaitan nilai dan simbol Ida Bagus Gede Yudha Triguna (1997:65), memberi penjelasan tentang nilai dan simbol secara estimologi. Secara estimologis kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo (sumballien) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, menyatukan.
Simbol merupakan pernyataan dua hal yang disatukan dan berdasarkan dimensinya. Nilai berkaitan dengan sesuatu yang dianggap berharga, sedangkan simbol selain memiliki fungsi tertentu juga dapat dimanfaatkan  sebagai identitas komunitasnya.  Suatu simbol menerangkan fungsi ganda yaitu transenden-vertikal (berhubungan dengan acuan, ukuran, pola masyarakat dalam berprilaku), dan imanen horisontal (Sebagai wahana komunikasi berdasarkan konteknya dan perekat hubungan solidaritas masyarakat pendukungnya)


Meskipun pengertian kebudayaan sangat bervariasi, ada suatu upaya merumuskan kembali konsep kebudayaan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dan karakteristik dari kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.

Karakteristik tersebut oleh Simuh dinyatakan sebagai ciri-ciri yang menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang-lambang. Segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang lebih kongkret, dengan demikian segalanya dapat menjadi teka-teki, karena simbol dapat ditafsirkan secara ganda. Makna unsur hias memiliki sifat generalistik, mengingat nilai-nilai budaya seperti  wayang memiliki akar yang sama antara gagrag satu dengan lainnya (dari masa ke masa), yakni nilai-nilai budaya Jawa yang adiluhung yang dilestarikan dalam tradisi wayang. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa tradisi dalam suatu masyarakat bisa berubah tetapi nilai-nilai budaya yang dianggap adiluhung tetap dilestarikan (Tjetjep Rohendi 1993:2).

Keris merupakan bagian dari sistem dalam kebudayaan, Koentjaraningrat menyatakan: bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat7.  Wujud dan Isi kebudayaan, menurut ahli antropologi sedikitnya ada tiga wujud, yaitu (1) Ideas, (2) activities dan (3) artifacts. Ketiga wujud kebudayaan tersebut oleh Koentjaraningrat dinyatakan sebagai sistem-sistem yang erat kaitannya satu sama lainnya, dan dalam hal ini sistem yang paling abstrak (ideas) seakan-akan berada di atas untuk mengatur aktivitas sistem sosial yang lebih kongkrit, sedangkan aktivitas dalam sistem sosial menghasilkan kebudayaan materialnya (artifact). Sebaliknya sistem yang berada di bawah dan yang bersifat kongkrit memberi energi kepada yang di atas (lihat: Ayat Rohaedi 1986:83). Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa kebudayaan Jawa merupakan interaksi timbal-balik di antara sistem-sistem dalam wujud kebudayaan tersebut, yaitu hubungan antara idea, aktivitas dan artifact, dari  karya yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa (termasuk keris).

“Keris” sebagai peninggalan kebudayaan yang terdapat diberbagai wilayah dan berkembang sesuai dengan falsafah dan pandangan masyarakatnya. Pandangan orang Jawa dalam melihat, memahami, dan berperilaku juga berorientasi terhadap budaya sumber. “Proses budaya Jawa selaras dengan dinamika masyarakat yang mengacu pada konsep budaya induk, yaitu “sangkan paraning dumadi” (lihat: Geertz 1981: X-XII).  Kelahiran dan atau keberadaan karena adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya melalui proses kelahiran, hidup dan mendapatkan kehidupan, yang semuanya terjadi oleh adanya sebab dan akibat. Geertz mengkaitkannya persoalan tersebut  dengan beberapa pemakaian istilah dalam  Agama Jawa9 yang berintikan pada prinsip utama  yang dinamakan “sangkan paraning dumadi”. Konsep tersebut dalam budaya Jawa dikenal dengan  istilah nunggak semi.

Keris sebagai artefak budaya merupakan ekspresi kebudayaan, dinyatakan oleh RM. Susanto; hasil kebudayaan yang direpresentasikan sebagai artefak dalam bentuk pusaka  budaya ataupun guratan dalam bentuk gambar-gambar pada relief atau kain secara simbolis. Dimensi pelukisan pohon dalam kehidupan manusia banyak memegang peranan penting, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan beragama. Suatu proses perubahan dari sebuah perilaku budaya, maka pada fase tertentu masih mengacu pada budaya sumber atau induknya (1987:296).

Apabila konsep tersebut dikaitkan dengan keris sebagai ekspresi budaya Jawa, maka bentuk tersebut  merupakan hasil  proses perubahan (pelestarian dan perkembangan) budaya, yang secara tradisi mengacu pada budaya induk. Orang Jawa sangat menghormati masalah tersebut, sehingga segala perilaku kehidupan selalu dikaitkan dengan budaya induknya (dalam hal ini  adalah  warisan budaya).  Itulah mengapa keris selalu mengacu kepada budaya induk (budaya sumber), sehingga pada gilirannya keris mempunyai pola dan gaya kedaerahan, atau gaya dalam periode tertentu. Keris dalam masa tertentu dibandingkan dengan masa tertentu mempunyai pola yang khas masing-masing; keris gaya Majapahit, Pajang, Mataram dan sebagainya dan sebagainya.

Sumber: http://kerisologi.multiply.com/journal
 
Keris adalah sesuatu yang sangat erat khususnya dengan kultur Jawa. Dalam “Legenda Jawa” dikatakan, bahwa untuk menjadi seorang pria yang sejati, maka seseorang harus memiliki lima hal, yakni: sebuah keris pusaka; seekor kuda; burung peliharaan; seorang wanita dan sebuah rumah. Keris dalam kultur Jawa dipandang dan diperlakukan sebagai suatu “simbol” dan juga “status” bagi sang pemiliknya, bukannya sebagai suatu “alat pembunuh” (Martial Weapon). Hampir disetiap keluarga aristokrat jawa, dapat dipastikan mereka memiliki sebuah Keris Pusaka Keluarga, yang memiliki keampuhan-keampuhan yang khas. Memiliki sebuah Keris Pusaka, mengharuskan seseorang untuk memenuhi berbagai ritual, salah satu diantaranya adalah upacara pemandian keris, yang umumnya dilakukan setiap tahunnya dan hal itu tergantung sekali kepada para pemiliknya masing-masing, bagaimana mereka dalam melakukannya.

Rumitnya masalah keris ini juga berakibat tidak mudahnya masalah kepemilikan keris bagi seseorang, yang ternyata tidak semudah memiliki barang-barang pribadi lainnya. Untuk memiliki sebuah keris yang mengandung makna kultural, mengharuskan seseorang melakukan beberapa ritual, untuk memastikan apakah keris tersebut “berjodoh” dengan sipemilik dan bagaimana selanjutnya pemeliharaan yang diharapkan oleh si-Keris tersebut.

Tampak depan dari bangunan Museum Keris yang berlokasi di Taman Mini Indonesia IndahBerpindah tangannya sebuah keris tidak ditandai dengan perpindah tangannya segenggam uang. Sebagaimana layaknya orang yang akan melakukan pernikahan, maka persatuan antara sebuah keris dengan pemiliknya yang baru, ditandai oleh “mahar” atau “Mas Kawin” yang disetujui oleh kedua belah pihak, termasuk si-Keris tersebut, melalui seorang “medium”. Masalah bisa berakibat sangat serious, karena kalau si-Keris tidak bisa menerima pemiliknya yang baru, maka hal tersebut bisa fatal bagi sipemilik baru tersebut.

Tingkat kerumitan masalah keris ini termasuk bagaimana cara menyandang si-Keris tersebut. Hal itu tergantung penyandangnya untuk kepentingan apa ? Kalau semua masalah ritual tersebut diabaikan, hal itu hanya akan menyebabkan si-Keris tersebut gusar dan kalau sudah demikian keadaannya, maka suasana harmonis antara si-Keris dan pemiliknya menjadi terganggu dan bencanapun bisa saja terjadi.!

Masalah rumitnya dunia Keris ini nampaknya juga menimbulkan perbedaan pendapat tentang dari mana asal-usul kata “Keris” tersebut berasal? Dalam buku “Ensiklopedia Keris” yang dijual dimuseum Keris, diterangkan bahwa kata Keris pertama ditemukan pada sebuah lempeng perunggu dengan tulisan “KRES” yang ditemukan sekitar tahun 825, didesa Karangtengah. Konon, selanjutnya kata “KRES” inilah yang merupakan cikal-bakal kata “KERIS” yang kita kenal sekarang, dengan segala macam misterinya.

Sumber: http://navigasi.net Museum - Keris
 
Pada jaman modern seperti sekarang ini mungkin menyebut kata empu adalah suatu hal langka, karena beberapa nama empu menjadi nama jalan, bahkan nama Empu Tantular sudah menjadi nama Universitas di dekat tempat tinggalku di Cipinang. Aku kenal Empu Margono di Bumiayu, Jawa Tengah, tiap hari kerjanya bikin alat-alat pertanian, seperti cangkul, pisau dapur, golok (di sana orang menyebutnya bendo) ataupun keris kalau ada yang memintanya.

Aku berkenalan dengan Empu Margono, hanya suatu kebetulan saja, aku ke bengkelnya karena di ajak Suaeb yang sering membantu keluarga kami bekerja di lahan pertanian milik Ibuku. Suaeb dan aku ke bengkelnya sambil membawa besi bekas per mobil, sebagai bahan mentah untuk dibuat golok baru.

Di bengkelnya, langkah awal yang aku lihat adalah membersihkan besi per bekas tadi, kemudian di panaskan pada suhu lebih dari tiga ratus derajat celcius, hanya dengan peralatan sederhana. Gambaran bengkel kerjanya, tungku perapian tempat untuk memanaskan besi-besi yang akan di bentuk ada di tengah, lantai tempat untuk menempa besi terbuat dari tanah biasa, bak air untuk mencelup besi panas di letakkan di depan dan pompa angin dengan menggunakan alat seperti tong di letakkan di pojok tetapi antara satu dengan lainnya saling berhubungan, kulihat ada dua buah alat untuk meniup angin yang disemprotkan pada tungku perapian. Peralatan sederhana ini sungguh berbeda dengan peralatan modern yang sering kujumpai di Jakarta, misalnya dalam pembentukan peralatan di pabrik-pabrik ada istilah blanking process, deep draw, punching, lining, oven, painting spray dan finishing, yang digarap secara masal, lain pabrik di Jakarta lain pula bengkel Empu Margono, pekerjanya hanya dua orang, yaitu dia dan anaknya yang ikut membantu memompa angin. Aku dan Suaeb duduk di sebelah tempat memompa angin, dekat pintu masuk.

Melihat Empu Margono bekerja, aku ikut merasakan capek, karena di bengkelnya (sebenarnya lebih tepat disebut gubuk, karena kondisi tempatnya sudah kumuh) temperatur ruangannya cukup panas. Aku lihat sesekali dia menyeka keringatnya dengan tangannya, sesekali dibiarkannya bercucuran sehingga berjatuhan ke tubuhnya. Besi yang di tempa berwarna merah membara, kemudian dibentuk dengan memukul-mukulnya dengan menggunakan palu. Dibakar lagi.. dicelup lagi.. dan dibentuk lagi, akhirnya terbentuk golok sesuai dengan jenis yang diinginkan.

Beberapa jam duduk sambil ngobrol dengan Empu Margono, memberikan pemahaman kepadaku tentang bagaimana hidup. Hidup kita itu seperti bahan besi yang siap ditempa oleh Sang Empu, bisa dibuat menjadi pisau, bisa juga menjadi cangkul. Dalam proses menjadi peralatan tersebut kita ditempa, dicelup dan dibentuk. Seperti juga peralatan itu, kitapun akan menjadi matang apa bila dalam hidup kita ditempa dengan berbagai pengalaman, baik yang kita terima dalam keadaan baik ataupun buruk.

-o0o-

Selain diasosiasikan dengan penempaan pengalaman hidup suatu individu, api yang panas membara dalam dunia spiritual bisa juga diasosiasikan dengan api cinta kepada Tuhan. Pecinta Tuhan mengalami cobaan yang sama seperti besi di tempa, tetapi cobaan-cobaan yang diterima tidak mengusik hati, karenanya seperti kebal atau imun terhadap penderitaan. Jika anda mencintai Tuhan, maka semua mahluk akan mencintai anda. Untuk itu, luangkan waktu sebentar dengan para pecinta Tuhan pasti akan menemukan apa makna kebahagiaan dan kebebasan yang sesungguhnya yang dicari selama ini.

Sebagian orang memasuki cinta Tuhan begitu dalam, sehingga menjadi sumber cinta bagi sesamanya. Sebagian orang memasuki api cinta dan menjadi satu dengan api itu, karena mereka telah memasuki cinta itu dan diterima olehNya, maka mereka meradiasikannya, mereka bercahaya seperti besi panas membara yang telah dicelupkan ke dalam perapian. Seperti keris yang berkelok indah, yang telah diciptakan oleh Sang Empu, mereka telah memperoleh sifat-sifat api tanpa kehilangan sifat besi dan kekuatannya, karena telah melewati api ini substansi mereka berubah selamanya. Lewat keindahannya, keris dicinta dan selalu mendampingi pemiliknya dengan setia.

Setengah hari, duduk di Bengkel Empu Margono, memberikanku pelajaran bagaimana menerima dan menyikapi tempaan hidup ini.

Sumber : http://ferrydjajaprana.multiply.com
 
Keris adalah senjata tikam yang dikenal di Nusantara, termasuk Filipina Selatan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia.

Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh budaya Sriwijaya-Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Bentuk keris Mindanao tidak banyak memiliki kemiripan dengan keris daerah lainnya, meskipun juga merupakan senjata tikam.

Keris memiliki berbagai macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda.

Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes.

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.

Selain keris, masih terdapat sejumlah senjata tikam lain di wilayah Nusantara, seperti rencong dari Aceh,sewar, tumbuk lada, badik, dan taji ayam (sumatera),badik dari Sulawesi serta kujang dari Jawa Barat. Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bentuk bilahnya. keris adalah senjata dengan tajam pada dua sisi, terdiri dari dua bagian yaitu bilah (beserta peksinya) serta ganja, memiliki kecondongan tertentu dari ganjanya, bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi merupakan campuran berbagai logam minimal 2 jenis logam,yang ditempa berlapis-lapis. Akibat teknik pembuatan ini, keris memilikipamor pada bilahnya. orang awam sering mengira bahwa pamor hanya ada pada keris, sebenarnya teknik pembuatan pamor bukan hanya terdapat pada keris tetapi juga ada pada pedang, tombak dan berbagai senjata tusuk seperti badik, kujang dan taji/lawi ayam, teknik pembuatan dengan menggabungkan beberapa logam (minimal 2 jenis logam)yang ditempa berlapis-lapis juga bukan monopoli keris karena juga diterapkan pada pembuatan pedang, badik dan tosan aji lain, jadi bukan pamor dan teknik tempa lipat beberapa logam yang membedakan keris dengan senjata lain melainkan terdapatnya dua bagian bilah dan ganja, dan adanya kecondongan bilah dari ganja yang membuat keris khas.